Mengenal Otoritas Dalam Konteks Agama Dan Spiritual

Mengenal Otoritas Dalam Konteks Agama Dan Spiritual – Hal ini merupakan fenomena terkini akibat pesatnya perkembangan teknologi. Ia dianggap mampu melayani segala kepentingan umat manusia, melampaui keterbatasan manusia dengan mengembara tanpa henti melalui berbagai realitas yang berbeda. Hal yang tidak mungkin tampaknya menjadi mungkin. Lalu muncullah euforia dan optimisme menyambut era baru ini, yaitu “Era Digital Baru”.

Sendiri pertama kali diperkenalkan oleh William Gibson yang membayangkan adanya dunia maya atau maya dalam jaringan komputer yang mensimulasikan dunia nyata sehari-hari.

Mengenal Otoritas Dalam Konteks Agama Dan Spiritual

Mengenal Otoritas Dalam Konteks Agama Dan Spiritual

Menciptakan kehidupan yang terstruktur oleh model kehidupan yang sebagian besar dimediasi oleh teknologi.

Pdf) Potensi Spiritual Manusia: Upgrading Transformasi Rohani Sebagai Rekontruksi Pemahaman Mendalam Berdasarkan Ajaran Islam

Bukan dunia kesadaran atau alam bawah sadar, melainkan dunia kesadaran di mana manusia mengalami “objek” di luar dirinya melalui mekanisme sensasi (Gestalt). Namun, pengalaman itu sendiri akan berbeda dengan dunia nyata. Di dalam

Objek terdiri dari komputer bit. Oleh karena itu, aliran kesadaran yang mempersepsikan objek nyata (termasuk orang lain sebagai objek) dialihkan ke kesadaran yang mempersepsikan dunia “halusinasi”.

Yang begitu cepat mempengaruhi kehidupan sosial di berbagai tingkatan. Tidak terkecuali spiritualitas, fenomena agama atau spiritualitas sangatlah kompleks dan tidak dapat dijelaskan secara parsial hanya dengan satu atau dua dimensi penjelasan saja. Karena bersifat integral dan komprehensif.

Dengan banyaknya dimensi fungsi dan peran (ritual, mental, sakral, magis), maka pengalihan fungsi tempat ibadah dan segala aktivitas di dalamnya ke alam maya atau buatan tentunya harus memperhatikan aspek umum dan inklusif. alam tempat ibadah

Pdf) Spiritualitas Sains Modern: Pembacaan Terhadap Relasi Agama Dan Sains

 , mereka yang mengkonsumsi kebenaran agama melalui ruang maya tidak mencari hukum-hukumnya di buku-buku dan ulama, seolah-olah berada di ruang Ketuhanan dan Holistik, sehingga pemahaman tentang kebenaran agama sangat terbatas. Internet, Facebook, Whatsapp, Instagram, dan tempat lainnya.

Dalam konteks ini, penyebaran narasi keagamaan dengan mudah mengorbit dan menyebar dari satu tempat ke tempat lain dalam hitungan detik. Dunia digital saat ini telah melahirkan pemikiran dan konsep yang membentuk pemikiran yang masuk ke dalam pemahaman masyarakat.

Hal ini tentu saja berujung pada perubahan otoritas keagamaan melalui kolonisasi informasi dan kesadaran ganda. Dahulu otoritas keagamaan hanya dimiliki oleh Ulama, Ustadz, Kyai, Mursyid dan lain-lain. Namun, otoritas agama kini direbut oleh media baru, yang terkesan impersonal dan bergantung pada jaringan informasi.

Mengenal Otoritas Dalam Konteks Agama Dan Spiritual

(maya).  Pertama, masalah pemahaman agama. Media elektronik sangat terbuka dan dapat digunakan oleh masyarakat umum tanpa batasan. Akibatnya timbul pemahaman yang bias dan cenderung membenarkan satu kelompok dan menyalahkan kelompok lain (fanatisme agama).

Agama Cyberspace: Ketika Spiritual Bergeser Ke Ruang Digital

Kedua, perubahan otoritas agama. Otoritas agama selalu menjadi topik perdebatan. Namun dalam konteks perkembangan dunia teknologi yang tidak terbendung, otoritas keagamaan seringkali menjadi impersonal (Ulama, Kyai, dll).

Akibatnya, teks-teks keagamaan yang disebarluaskan di media virtual kehilangan keasliannya sehingga siapa pun, bahkan orang yang mementingkan diri sendiri sekalipun, bisa mengaku ahli agama dan mengalahkan ulama dalam hal popularitas. Hal ini tentu tidak dibenarkan dalam sudut pandang Islam, karena kajian ilmu agama harus melalui guru yang terpelajar.

). Hiruk pikuk teknologi telah mendorong masyarakat ke dalam ekstase konsumerisme keagamaan. Akibatnya, masyarakat membesar-besarkan atau berpuas diri ketika topik yang bersinggungan dengan isu agama di media.

Memang tidak semua spiritualitas berbasis virtual bersifat negatif. Ada pun dampak positif yang ditimbulkan dari spiritualitas digital, yaitu analisa atau doa dapat dilakukan secara virtual melalui Zoom Meeting dan mengaji secara virtual. Namun, ini semua adalah ibadah

Islam Mencakup Spiritual…

Ia dapat diibaratkan sebagai penambah sosial, yaitu media yang dapat memperluas dan memperlebar ruang lingkup, ruang dan interaksi di dalam, di luar, dan antar ruang untuk membentuk komunitas masyarakat yang semakin kuat.

Walaupun berkaitan dengan dunia keagamaan atau spiritual, namun tentu akan berdampak pada spiritualitas, salah satunya adalah masalah pemahaman agama, perubahan otoritas agama dan sikap masyarakat yang ekstrim (

). Sedangkan sisi positifnya tentu akan memudahkan penyelesaian permasalahan umat (sosial, ekonomi, politik) berdasarkan muamalah, karena dengan keberadaannya

Mengenal Otoritas Dalam Konteks Agama Dan Spiritual

Previous Post Inilah Fakta NII Ingin Tumbangkan Presiden Jokowi di Sumbar Next Post: Keadaan Darurat NII, Segera Buat Aturan untuk Cegah Ideologi Anti Pancasila

Logika Beragama Manusia Indonesia

Situs web ini menggunakan cookie. Dengan terus menggunakan situs ini, Anda menyetujui penggunaan cookie. Kunjungi Kebijakan Privasi dan Cookie kami. Bagi kebanyakan orang di dunia, agama bersifat spiritual. Spiritualitas adalah agama. Sebenarnya keduanya tidak bisa disamakan atau dianggap sama begitu saja karena ada beberapa hal penting yang membedakannya.

Perbedaan yang paling kentara adalah bahwa dalam urusan kerohanian tidak ada ketentuan khusus tentang bagaimana seseorang harus melakukan amalan kerohaniannya. Sedangkan suatu agama mempunyai ketentuan atau aturan khusus untuk melaksanakan setiap bagian ajarannya. Tidak ada satupun agama di dunia ini yang begitu saja mengecualikan pemeluknya untuk mengamalkan ajaran agamanya tanpa ada aturan atau ketentuan yang menjadi syarat atau dasar pelaksanaannya. Hal inilah yang paling kentara dijadikan pembeda utama antara spiritualitas dan ajaran agama.

Jika ya, metode atau gaya apa yang digunakan para ulama dalam menjalankan ajaran spiritualnya? Iya, pakai gaya bebas 🙂 Kalau mau pakai gaya atau cara apa pun boleh dan sah asalkan maksud dan tujuan ajaran rohaninya tercapai atau terpenuhi. Hal ini tidak mengubah maksud dan tujuan pengajaran. 

Secara umum, para spiritualis tidak mempunyai pandangan yang kaku terhadap segala sesuatu. Secara umum, dia sangat terbuka dan leluasa melihat hal-hal lain di luar (pelatihannya). Karena sifatnya yang terbuka dan bebas, para ulama terkadang memberikan kesan sebagai sekelompok orang yang tidak mempunyai visi tertentu terhadap hidup dan kehidupannya. Hampir seperti orang yang labil dan tidak percaya sepenuhnya pada suatu hal. 

Heman Salvation Ministry

Nah yang jelas bedanya dimana? Dalam agama jelas tidak diperbolehkan adanya kebebasan dalam bentuk dan gaya menjalankan ajarannya. Pelanggaran terhadap aturan sekecil apa pun dapat digolongkan sebagai pelanggaran agama. Atau terkadang dianggap penodaan agama terhadap ajaran agama. Atau paling tidak, amalan keagamaan mereka terdaftar tidak sah dan harus diulangi. Like SHE 🙂 Saya harus melakukannya lagi karena lamaran pertama tidak valid. Ada peraturan atau regulasi yang dihilangkan. 

Ngomong-ngomong, ada juga penilaian “GAGAL” dan “SEMUA” dalam masalah moral, bukan? 🙂 Ya ada. Dalam hal ini hampir sama dengan agama. Temui “GAGAL” dan “DIA”. Nah kalau referensi ajaran saja tidak ada, bagaimana menilainya??? Siapa bilang spiritualis tidak punya aturan dasar atau aturan rumah? 🙂 Apakah Anda punya referensi atau iklan/seni? Berikut ini referensi atau iklan/seni.

Seperti disebutkan di atas, para spiritualis tidak serta merta percaya pada satu hal atau satu hal tertentu atau hanya satu hal tertentu, karena spiritualitas bersifat netral terhadap apa pun yang tidak netral. Kalau tidak netral, berarti Anda bukan seorang spiritualis 🙂 Ya, netralitas itu sebuah iklan/seni atau acuan ajaran. 

Mengenal Otoritas Dalam Konteks Agama Dan Spiritual

Untuk menjaga netralitas rohani mereka, para pemimpin agama tidak dapat dan tentunya tidak akan didorong untuk mempercayai sesuatu secara berlebihan atau sepenuhnya. Sebab kenetralan jiwanya pasti akan ternoda ketika Anda memaksakannya melakukan sesuatu yang ekstrim, apalagi bermain-main. Itu berlumuran sesuatu yang dia dorong. Dalam keadaan seperti itu, netralitas moral seseorang pasti akan hilang. Sangat! Inilah landasan atau seni para ulama.

Mengungkap Makna Teologis Surat 2 Timotius: Pandangan Orthodox Dalam Zaman Modern

Setiap spiritualis hendaknya mengetahui dan mengetahui betul dimanakah batas-batas diri spiritual yang netral dan tidak netral. Jika ia melanggar batas kenetralan spiritualnya, maka ia akan langsung terjatuh atau meninggalkan ajaran spiritualnya. Landasan moralnya hilang dan hancur. Bagus! 🙂 Dan kalau iya, jangan minta maaf gan! 🙂 Jika Anda ingin kembali ke jalan itu, silakan mulai lagi dari awal jalan itu! Anda tidak bisa melompat atau masuk ke tengah, apalagi ke akhir. Mereka memaksakan diri untuk mengulanginya :)Sekolah Penulisan Ilmiah Populer di Al-Anam Antropologi Sosial [6]: 108 (Mencegah Disintegrasi Nasional) Pemikiran Jean-Jacques Rousseau tentang Gender: Analisis dalam Kerangka Etika dan Politik Wahyu Pertama pada Dunia Fin: Relevansi Koherensi Al-Qur’an dan Eksplorasi Implikasi Pemikiran Terkini dalam Linguistik Al-Qur’an: Analisis Kritis terhadap Kitab Husain Abdul-Raof

Hubungan Agama-Negara telah menjadi topik diskusi sejak lama dalam sejarah, membentuk wajah politik, sosial dan budaya. Agama seringkali menjadi sumber moral yang memandu kebijakan negara, dan negara mengatur serta melindungi kebebasan beragama. Perdebatan mengenai sejauh mana agama mempengaruhi negara atau sebaliknya masih kompleks dan kontroversial hingga saat ini.

Dalam konsep opini politik, kita dapat menemukan tiga tipologi hubungan antara negara dan agama. Pertama, agama dan negara tidak dapat dipisahkan satu sama lain (dipertegas paradigma integralis). Kedua, agama dan negara mempunyai hubungan simbiosis. Ketiga, sekuler (agama dan negara ditempatkan terpisah) (Abdillah, 2005).

Kekuatan-kekuatan yang disumpah kepada Tuhan, agama dan negara seringkali bertabrakan dalam pentas sejarah. Masing-masing menawarkan janji penebusan dan penebusan, namun juga menuntut kesetiaan dan pengorbanan. Secara ontologis agama dan negara merupakan turunan dan akibat dari kata Tuhan, karena Tuhan adalah Yang Mutlak, sumber dan akhir dari segala keberadaan yang ada. Namun kini mereka hidup berdampingan dalam kesadaran manusia dan terkadang menampakkan diri dalam lembaga-lembaga yang seolah-olah berebut hegemoni (Fachruddin, 2006: 5).

9 Perbedaan Utama Antara Kristen Protestan Dan Katolik

Mustafa Kemal al-Tattürk juga mempunyai pandangan tersendiri mengenai hubungan antara agama dan negara. Menurutnya, agama dan negara memang relevan, namun harus dipisahkan dalam pengelolaan urusan agama dan negara. Oleh karena itu, ia mengubah Turki menjadi negara sekuler yang memisahkan urusan dunia dengan urusan agama (Nasution, 1994: 142).

Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, peran agama dalam menjaga negara sangat diperlukan. Ia melihat peran agama dalam menciptakan solidaritas antar umat, dan rasa solidaritas tersebut dapat mencegah persaingan tidak sehat yang menjadi perhatian utamanya.

Artikel Terkait

Leave a Comment